Sejarah kamasutra. Kita tidak banyak tahu tentang
Vatsyayana, siapa dia, tinggal di mana. Secara samar-samar kita hanya tahu, barangkali dia hidup pada 1.700 - 1.800 tahun lalu. Secara implisit, sang penyusun pun mengaku bahwa karyanya lahir dari kegelisahan diri. Kegelisahan melihat keadaan muda-mudi Bhaarat zaman itu. Dengan jumlah penduduknya sekitar 10 - 15 juta dan tanah yang lumayan subur, keadaan Bhaarat waktu itu mirip dengan Swiss atau negeri-negeri Skandinavia masa kini.
Untuk memahami latar belakang penyusunan
Kamasutra oleh
Vatsyayana, kita boleh menoleh sebentar ke Swiss atau salah satu negara di Skandinavia. Inilah negara paling makmur di dunia, jauh lebih sejahtera dari Amerika Serikat. Namun, tingkat kematiannya akibat bunuh diri pun jauh berada di atas Amerika Serikat, dan tertinggi di Eropa. Kenapa? Ketika seorang gadis asal Swiss diwawancarai oleh CNN, ia mengaku, “Kehidupan sebagaimana kita jalani saat ini sudah kehilangan makna. Untuk apa hidup?” Tidak ada tantangan. Segalanya sudah tersedia, baik oleh orangtua maupun negara. Mau apa lagi?
Saat itu, di zaman
Vatsyayana, muda-mudi Bhaarat pun menghadapi dilema serupa. Maka mereka melarikan diri dari masyarakat. Mereka menjadi petapa, menjadi biku. Keseimbangan sosial pun kacau. Jumlah penduduk yang berusia lanjut dan sudah tidak produktif melebihi jumlah mereka yang masih muda dan produktif. Keadaan serupa saat ini dihadapi oleh tetangga kita, Singapura.
Di tengah keadaan seperti itu, Vatsyayana mengingatkan zamannya bahwa
“Manusia Dapat Memberi Makna pada Hidupnya”. Tidak perlu mencari makna kemana-mana, karena makna ada di mana-mana. Maka lahirlah sebuah falsafah, bukan filsafat yang kering, cara hidup yang penuh lembap. Falsafah kamasutra:
HIDUP PENUH MAKNANamun, kita harus menemukannya! Persis seperti mentega atau krim di dalam susu - sudah ada namun tidak terlihat. Susu harus diproses untuk mendapatkan krim atau mentega di dalamnya, dan proses inilah kehidupan.
"Susu di dalam cawan Anda berasal dari seekor sapi. Susu di dalam cawan saya pun berasal dari seekor sapi. Lain sumber Anda (sapi Anda), lain pula sumber saya (sapi saya). Namun, susu yang kita miliki sama, sama-sama bergizi dan memiliki khasiat yang sama pula. Untuk memperoleh mentega, kita pun harus sama-sama mengolahnya. Walau cara kita bisa beda, hasilnya akan sama lagi."
Berdasarkan perumpamaan itu, Vatsyayana mengajak kita untuk mengenali diri, untuk menemukan jati diri atau pusat di dalam diri - the centerpoint. Banyak cara untuk menemukan jati diri. Namun, ada empat upaya utama. Setiap upaya mewakili satu sudut, satu sisi kehidupan, yang barangkali berseberangan tetapi dapat dipertemukan.
Pertama adalah
kama (keinginan) - keinginan kuat, tunggal, untuk menemukan jati diri. Sementara ini keinginan kita masih bercabang. Terdorong oleh hawa nafsu, kita dapat menginginkan apa saja. Perlahan, tanpa memaksa, kita harus mengarahkan keinginan itu kepada diri sendiri. Dari sekian banyak keinginan, kita menjadikannya satu keinginan; keinginan untuk menemukan jati diri.
Kedua adalah
artha, biasa diterjemahkan sebagai harta. Sesungguhnya, artha juga berarti “makna” atau “arti”. Temukan makna hidup! Adakah uang atau harta itu yang memberi makna pada hidup kita? Bila ya, berhati-hatilah. Sebab, apa yang kita miliki saat ini tak mungkin kita miliki selamanya. Jangankan uang, anggota keluarga pun pada suatu ketika akan meninggalkan kita, atau sebaliknya. Bila terlalu percaya pada “kepemilikan” kita, maka hidup bisa menjadi sangat tidak berarti ketika apa yang saat ini masih kita miliki, tidak lagi menjadi milik kita.
Berusahalah untuk menemukan makna lain bagi hidup kita. Barangkali itu “kebahagiaan” yang kita peroleh saat kita berbagi kebahagiaan. Tidak berarti kita tidak boleh mencari uang. Silakan mencari uang, menabung, menjadi kaya-raya, tetapi janganlah mempercayai harta kekayaan kita. Kita pasti kecewa karena apa yang kita miliki hari ini, belum tentu masih kita miliki esok pagi.
Ketiga adalah
dharma, kebajikan. Dalam bahasa sufi disebut syariat - pedoman perilaku. Pedoman perilaku berdasarkan kesadaran, itulah dharma. Jangan berbuat baik hanya karena kita dijanjikan sebuah kapling di surga. Itu bukan kebajikan, tapi perdagangan belaka - jual-beli. Berbuatlah baik karena kebaikan itu baik. Berbuatlah baik karena diri kita baik. Berbuatlah baik karena kita sadar. Orang yang berada pada jalur dharma tidak perlu dipaksa, diiming-imingi, juga tidak perlu diintimidasi, diteror, atau dipaksa untuk berbuat baik. Ia akan selalu berusaha untuk berbuat baik karena sadar!
Keempat adalah
moksha, kebebasan mutlak. Kebebasan mutlak berarti “kebebasan dari" sekaligus “kebebasan untuk”. Kita bebas dari penjajahan, dan mestinya kita juga bebas untuk berpendapat. Namun, ada rambu-rambu yang perlu ditaati, diperhatikan, dan tidak dilanggar. Kenapa ada rambu-rambu? Sebab, kita belum cukup sadar menggunakan “kebebasan untuk” dengan penuh tanggung jawab. Barangkali memang karena itu, atau barangkali ada pihak-pihak yang merasa akan dirugikan, bila kita meraih “kebebasan untuk”.
Lewat
Kamasutra,
Vatsyayana, sang Begawan, hendak membebaskan kita dari perbudakan, dan belenggu yang menjerat. Tuhan bukanlah yang menciptakan belenggu-belenggu itu, tapi masyarakatlah penciptanya. Nilai-nilai yang mendasari suatu masyarakat semuanya dapat berubah. Tidak ada yang baku.
Vatsyayana mengajak kita untuk sepenuhnya menerima perubahan dan ikut berubah. Dalam bahasa modern, inilah yang disebut Adequency Quotient - kemampuan untuk bertindak sesuai dengan tuntutan zaman, waktu, keadaan, budaya lokal, dan sebagainya. Vatsyayana tidak percaya pada
Intellectual Quotient, Emotional Quotient, Spiritual Quotient atau gabungan kedua atau ketiganya. Ia menerima semuanya dan tidak berhenti pada ketiganya itu saja. Ia pun menerima segala aspek kehidupan manusia, termasuk seks - dan lahirlah Kamasutra sebagaimana dipahami oleh Vatsyayana.
Kama, artha, dharma; dan
moksha harus bertemu, dan titik temu keempat upaya itulah tujuan hidup, itulah jati diri kita! Titik temu itu adalah antara pasangan yang berseberangan. Janganlah mempertemukan kama dengan artha, karena kedua titik itu masih segaris. Pertemuan antara kama dan artha itulah yang selama ini terjadi - kita hanya berkeinginan untuk mengumpulkan uang, mencari keuntungan, dan menambah kepemilikan, entah itu berupa benda-benda yang bergerak atau tak bergerak.
Kama harus bertemu dengan
moksha, itulah titik di seberangnya. Berkeinginanlah untuk meraih kebebasan mutlak. Kemudian
artha harus bertemu dengan
dharma - carilah harta sehingga Anda dapat berbuat baik, dapat berbagi dengan mereka yang berkurangan. Berikan makna kepada hidup Anda dengan berbagi kebahagiaan, keceriaan, kedamaian, dan kasih.
Namun, selama ini kita menggabungkan dharma dengan moksha. Berbuat baik, beramal saleh, untuk meraih kebebasan. Kemudian kebebasan pun kita terjemahkan sebagal keselamatan bagi diri, jiwa, atau sebuah kapling di surga. Bebas dari api neraka, itulah definisi kita tentang kebebasan. Bebas dari penderitaan, entah fisik, mental, emosional atau apa yang kita anggap rohani. Itu saja.
Padahal, roh atau batin melampaui suka dan duka. Roh atau batin adalah napas-Nya yang ditiupkan-Nya ke dalam “apa yang kita sebut diri kita”. Penderitaan fisik, mental, maupun emosional semata-mata karena kita tidak mau menerima perubahan. Setelah digunakan selama puluhan tahun, kendaraan bernama badan sudah pasti mengalami kerusakan. ltu wajar dan normal. Terimalah kewajaran itu.
...
Itulah tujuan Vatsyayana ketika menyusun kembali teks teks kuno dan memilih apa saja yang masih relevan di zamannya, kemudian disebutnya Kamasutra. Sebab itu, Vatsyayana juga tidak berpretensi bahwa apa yang ditulisnya itu berlaku sepanjang masa. Bahkan untuk masanya sendiri.
Di akhir tulisannya, ia pun mengingatkan para pembaca, “Yang penting adalah praktik, bagaimana kau melakoni semua ini. Setelah dipelajari, buku ini pun harus kau buang. ... Terjemahkan apa yang telah kau pelajari dalam hidup sehari-hari .“
Barangkali, dialah penulis “kitab suci” yang tidak memiliki beban ego. Ia berasal dari wilayah peradaban Sindhu, Hindu, Indies, India, Indo, Hindia - wilayah kita semua. Sayang sekali, hanya sebagian kecil di antara kita yang masih memiliki rasa bangga terhadap budaya asal kita. Budaya yang melahirkan Vatsyayana, Mpu Tantular, Sukarno, dan Romo Mangun. Budaya yang melahirkan para pemikir dan negarawan seperti Ki Hajar Dewantara, Syahrir, M. Hatta, Moh. Natsir, dan Kasimo. Budaya yang sudah ada sebelum lahirnya agama-agama.
Dari budaya asal itu pula yang masih dipahami di zaman La Galigo, Bundo Kanduang, Ronggowarsito, dan Mangkunagoro - kita memperoleh cara untuk meniti jalan ke dalam diri, untuk menemukan jati diri. Vatsyayana menyebutnya samadhi - keseimbangan yang diperoleh lewat dhyana, hidup berkesadaran.
Orang Jawa zaman dahulu menyebutnya sembah rasa. Para Sufi menyebutnya muraqibah yang diperoleh dengan ber-tafakkur. Dalam bahasa modern, meditasi. Meditasi bukan dalam pengertian “duduk diam” atau “mendiam-diamkan diri selama beberapa lama”, “menyepi”, dan sebagainya. Namun, “menjadi diam” - setelah hewan di dalam diri kita berhasil dijinakkan. Meditasi juga bukan doa. Ketika kita bendoa, kita berbicara dengan Tuhan, Allah, atau apa pun sebutan Anda bagi Kekuatan Tunggal Yang Satu Itu. Dalam meditasi, kita berhenti berbicara. Kita mendengarkan suara-Nya.
...
(dikutip dari tulisan Anand Krishna di http://community.kompas.com/read/artikel/1009)